PERSPEKTIF
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
R/ Tiga Kali
Sehari
Suatu ketika aku menyusuri telaga sunyi dimatamu. Ketika senja sebentar lagi hendak beranjak. Aku ingin berenang disana untuk menyucikan diri sebelum menunaikan ibadah shalat magrib dari segala salah yang baru – baru ini selalu kau ucapkan kepadaku – kau harus bertaubat.” Katamu lugas dan tegas. Lalu ku jawab dengan santai sembari menyeruput kopi, “iyah, sudah lama aku ingin bertaubat.” Tapi saat kau datang, aku berbuat salah lagi. Entahlah, aku tak begitu paham yang kau sebut itu sebagai kesalahan saat kau sedang jauh dariku atau sesaat setelah kita berpelukan erat.
Aku membayangkan Tuhan yang telah
menciptakan semesta dan mempertemukan kita waktu itu. Saat hujan yang deras
mengguyur kota ini. Aku memandangi wajahmu sehabis bangun tidur. Setelah itu
kita lalu lekat dan aku tak tahu lagi harus memulai darimana untuk menceritakan
malam itu. Akan tetapi sejak saat itu, kita lalu lebih sering bertemu dan
menghabiskan malam bersama.
Suatu ketika,kira-kira pukul 2
malam waktu Indonesia bagian perintis aku terbangun dan menyalakan ponselku.
Kudapati sebuah pesan darimu. Kau memintaku untuk bertaubat, katamu aku terlalu
banyak berbuat dosa dimasa lalu. Lalu kubalas,”Iya, aku sedang bersiap untuk
bertaubat. Tapi entah kapan waktunya.” Aku lalu bangun dari tempat tidur
dan membuat kopi. Sembari mendengarkan musik, aku mulai menyeruput kopi sambil
menulis kata demi kata pada lembaran kosong yang ada dihadapanku. Aku seperti
melihat dirimu disana, dengan segudang kebingungan yang berseliweran dikepalaku.
Kutuliskan puisi untukmu yang tak kuberi judul apa-apa dan nanti akan
kuserahkan kepadamu setelah kau tiba dikota ini. Katamu, besok lusa kau akan
pulang kampung dan transit di kota yang penuh dengan kenangan ini. Baiklah, aku
senang mendengarkan itu. Artinya rinduku akan segera terobati. Jika kau masih
berkenan, maka kita akan berpelukan lagi. Akan kukecup lagi keningmu dengan
manja. Tapi jika kau menganggap itu adalah maksiat, maka biarkanlah aku mengecup
dan memelukmu melalui puisi. Itu juga jika kau tak menganggap itu sebagai
sesuatu yang akan membuatku dicap sebagai penulis puisi yang berotak mesum.
Dua hari kemudian kamu tiba
dikota yang menolak aku tinggalkan ini. Kadang-kadang aku memberinya nama
sebagai kota kenangan. Sebab disinilah aku memulai begitu banyak kenangan,
termasuk dengan dirimu. Kau juga seringkali kusebut sebagai perempuan yang
menolak untuk aku lupakan. Sebab sejak kita terpisah oleh ruang dan waktu, kau
juga aku sudah sering meminta untuk saling meninggalkan dan melupakan. Katamu
suatu ketika kepadaku “Aku sudah terbiasa tanpa kabarmu, aku sudah terbiasa
mendengar kamu pergi dengan perempuan lain.” Lalu kujawab dengan santai, “Oh,
kabar itu, iyah aku hanya mengajaknya menemaniku untuk duduk diwarung kopi.” Lalu
perdebatan kita berlanjut, panjang dan akhirnya sepakat untuk berhenti.
Kau tiba dihadapanku. Aku
menjemputmu dibandara. Tak seperti biasanya, kau tak menjabat dan mencium
tanganku. Entah apa alasannya, tapi sekilas aku mendengar bahwa kau sedang
ingin memperbaiki diri. Kamu pernah berjanji kepada dirimu sendiri bahwa akan
menutup aurat, tidak bersentuhan dengan yang bukan muhrim dan masih banyak
lagi. Mungkin itulah alasannya mengapa saat aku memboncengmu, kau duduk dan
menyimpan tas sebagai pembatas antara aku dan dirimu.
Aku tak sempat bertanya mengapa kau
tiba-tiba berubah seperti itu. Aku hanya membayangkan saat – saat dulu kau
menelponku untuk datang karena sedang begitu rindunya dirimu kepadaku. Aku
masih ingat berapa bungkus tissue yang habis hanya dalam waktu beberapa hari
saja. Ah, sudahlah. Kau mungkin akan marah jika aku mengingatkan saat – saat
itu. Atau paling tidak, kau akan memintaku untuk bertaubat lagi.
Kita tiba dikosan seorang teman.
Disana kau enggan untuk membuka jilbabmu. Meski hanya ada aku seorang diri yang
berjenis kelamin berbeda dengan dirimu. Kau lalu bercerita batapa hebat Tuhan
dalam menuntun prosesmu berubah menjadi lebih baik. Sungguh luarbiasa dengan
dipertemukannya dirimu dengan orang-orang yang sudah lebih dulu berubah yang
kau sebut dengan kata berhijrah. Kau juga tak ingin duduk dekat dengan
diriku. Tak seperti biasanya, dahulu kau begitu senang menyandarkan kepalamu
dipundakku.
Aku masih ingat saat aku
mengatakan ini kepadamu, “maaf kali ini tumpah lagi, kau sendiri yang
memintaku menumpahkannya diatas perutmu. Tunggu kuambilkan tissue, atau pake
jilbabmu saja.” Aku masih ingat saat kita begitu rajin berciuman dalam
sehari, kadang kita melakukannya pagi siang dan malam lebih rutin dan tepat
waktu dari meminum obat yang diberikan oleh dokter. Masalalu ibarat musium
sunyi yang tak pernah ingin aku kunjungi lagi tapi tetap saja selalu menggelayut
diingatanku. Waktu terus berjalan. Aku masih menulis puisi perihal dirimu.
Tentang bibirmu yang tak pernah aku lupa bagaimana rasanya saat menyelinap
begitu saja kebibirku yang selalu kau sebut kering. Tapi tetap saja, puisi itu
akhirnya akan menjadi sampah sebab tulisan tak cukup membawa kita kembali
menikmati masa-masa itu.
Kau menjelma menjadi seorang
perempuan yang begitu taat beribadah. Mengaji, sholat dan menutup aurat tentu
saja. Meski kutahu itu baik karena itu membuatmu bisa lebih dekat dengan Tuhan.
Tapi entah mengapa, aku tidak bisa menerimanya begitu saja. Bukan karena aku
tak bisa memeluk dan mencium bibirmu seperti dulu lagi, karena itu rupanya
masih bisa kudapatkan jika saja aku berniat untuk sedikit memaksa dan tepat
waktu tentu saja seperti malam itu saat kau singgah dikota ini. Meski setelah
itu kau akhirnya menangis karena katanya aku telah merusak segala usahamu untuk
menjadi lebih baik. Lalu kau memutuskan untuk tidak lagi menjalin hubungan
apa-apa denganku. Aku bukanlah lelaki yang baik dan bisa berubah dan bertaubat
sebagaimana yang kau inginkan.
Waktu berjalan, kudengar
perubahanmu begitu luar biasa. Aku sudah berani menghubungimu kembali.
Barangkali bisa merajut kembali benang-benang kasih yang pernah putus. Sebab
kenangan tentang dirimu masih begitu lekat dibenakku. Memelukmu erat, mencium
bibirmu yang selalu merah itu bukanlah perkara sederhana yang mudah aku
lupakan. Telah berhalaman-halaman puisi ku tulis. Tapi tak juga bisa
menggantikan nikmatinya memeluk dirimu.
Tapi Ada hal yang membuatku tak
bisa menerima dan sekaligus merasa kecewa dengan dirimu. Aku tak lagi
menemukanmu menjadi orang yang peduli dengan orang-orang kecil. Kadang-kadang
juga kau menjadi orang yang merasa lebih baik daripada yang lain hanya karena
akhir-akhir ini kau rajin beribadah. Entah mengapa aku tak bisa menerima hal
itu. Aku lebih menyenangi kau yang dulu sebab selain rajin menciumku kau juga
tak pernah alfa bersedekah kepada mereka yang membutuhkan. Kau tak segan
memberikan uang lebih kepada orang tua yang menjaga motor kita diparkiran
warung makan yang selalu kita kunjungi setelah seharian berpelukan. Dan yang
paling menyenangkan bagiku, dahulu kau tak pernah merasa lebih baik daripada
orang lain hanya karena dirimu rajin bersedekah. Beda halnya dengan saat ini,
dengan kain yang menutupi sekujur tubuhmu, juga ayat-ayat suci yang setiap
selesai sholat kau lantunkan justru membuatmu jauh dari hal-hal baik dahulu. Rasa-rasanya
saat ini, aku kadang-kadang menemukanmu menjadi seperti manusia yang tak pernah
punya dosa. Berani mengatakan bahwa dirimu yang lebih baik daripada orang lain.
Akhirnya aku mengumpulkan segala
kenangan itu, termasuk permintaanmu agar aku bertaubat sebagai doa-doaku.
Barangkali dengan begitu aku bisa mengenangmu dengan baik tanpa harus
memikirkan proses hijrahmu sebagai sesuatu yang membuatmu jauh dariku dan jauh
dari orang-orang miskin sepertiku.
Makassar, 2020
Penulis : AM.Muslihin, seorang remaja yang berwajah pas-pasan dan tidak pintar. menyukai kopi dan senja juga perempuan tentu saja.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar