PERSPEKTIF

Gambar
  WORD FALLACY #1 (Universitas Anta Brantah)   Oleh : AM.Muslihin (Penulis Receh dari negeri Anta Brantah)   Zaman memang sudah tua. Waktu terus bergulir, membawa umat manusia dari situasi yang satu ke situasi yang lain. Berbagai dinamika terus saja berentetan bag roda yang tak pernah berhenti berputar. Ada yang baik pula ada juga yang kurang menyenangkan. Itulah hukum semesta. Hari ini, umat manusia tengah diperhadapkan pada kemajuan yang begitu pesat diberbagai lini kehidupan. Hampir semua sektor mengalami perkembangan. Kemajuan tekhnologi ibarat kilat yang menyambar, sangat cepat. Bertatap muka tanpa bertemu, memesan makanan tanpa meninggalkan tempat tidur dan masih banyak lagi hal menakjubkan lainnya di era ini. Akan tetapi disaat yang sama sepertinya umat manusia perlu melihat kembali bahwa dunia hari barangkali sedang menghadapi satu fase yang begitu sulit. Pandemi yang melanda tak juga surut, bahkan malah terus bertambah dibuktikan dengan munculnya berb...

PERSPEKTIF

 

R/ Tiga Kali Sehari


 

Suatu ketika aku menyusuri telaga sunyi dimatamu. Ketika senja sebentar lagi hendak beranjak. Aku ingin berenang disana untuk menyucikan diri sebelum menunaikan ibadah shalat magrib dari segala salah yang baru – baru ini selalu kau ucapkan kepadaku – kau harus bertaubat.” Katamu lugas dan tegas. Lalu ku jawab dengan santai sembari menyeruput kopi, “iyah, sudah lama aku ingin bertaubat.” Tapi saat kau datang, aku berbuat salah lagi. Entahlah, aku tak begitu paham yang kau sebut itu sebagai kesalahan saat kau sedang jauh dariku atau sesaat setelah kita berpelukan erat.

Aku membayangkan Tuhan yang telah menciptakan semesta dan mempertemukan kita waktu itu. Saat hujan yang deras mengguyur kota ini. Aku memandangi wajahmu sehabis bangun tidur. Setelah itu kita lalu lekat dan aku tak tahu lagi harus memulai darimana untuk menceritakan malam itu. Akan tetapi sejak saat itu, kita lalu lebih sering bertemu dan menghabiskan malam bersama.

Suatu ketika,kira-kira pukul 2 malam waktu Indonesia bagian perintis aku terbangun dan menyalakan ponselku. Kudapati sebuah pesan darimu. Kau memintaku untuk bertaubat, katamu aku terlalu banyak berbuat dosa dimasa lalu. Lalu kubalas,”Iya, aku sedang bersiap untuk bertaubat. Tapi entah kapan waktunya.” Aku lalu bangun dari tempat tidur dan membuat kopi. Sembari mendengarkan musik, aku mulai menyeruput kopi sambil menulis kata demi kata pada lembaran kosong yang ada dihadapanku. Aku seperti melihat dirimu disana, dengan segudang kebingungan yang berseliweran dikepalaku. Kutuliskan puisi untukmu yang tak kuberi judul apa-apa dan nanti akan kuserahkan kepadamu setelah kau tiba dikota ini. Katamu, besok lusa kau akan pulang kampung dan transit di kota yang penuh dengan kenangan ini. Baiklah, aku senang mendengarkan itu. Artinya rinduku akan segera terobati. Jika kau masih berkenan, maka kita akan berpelukan lagi. Akan kukecup lagi keningmu dengan manja. Tapi jika kau menganggap itu adalah maksiat, maka biarkanlah aku mengecup dan memelukmu melalui puisi. Itu juga jika kau tak menganggap itu sebagai sesuatu yang akan membuatku dicap sebagai penulis puisi yang berotak mesum.

Dua hari kemudian kamu tiba dikota yang menolak aku tinggalkan ini. Kadang-kadang aku memberinya nama sebagai kota kenangan. Sebab disinilah aku memulai begitu banyak kenangan, termasuk dengan dirimu. Kau juga seringkali kusebut sebagai perempuan yang menolak untuk aku lupakan. Sebab sejak kita terpisah oleh ruang dan waktu, kau juga aku sudah sering meminta untuk saling meninggalkan dan melupakan. Katamu suatu ketika kepadaku “Aku sudah terbiasa tanpa kabarmu, aku sudah terbiasa mendengar kamu pergi dengan perempuan lain.” Lalu kujawab dengan santai, “Oh, kabar itu, iyah aku hanya mengajaknya menemaniku untuk duduk diwarung kopi.” Lalu perdebatan kita berlanjut, panjang dan akhirnya sepakat untuk berhenti.

Kau tiba dihadapanku. Aku menjemputmu dibandara. Tak seperti biasanya, kau tak menjabat dan mencium tanganku. Entah apa alasannya, tapi sekilas aku mendengar bahwa kau sedang ingin memperbaiki diri. Kamu pernah berjanji kepada dirimu sendiri bahwa akan menutup aurat, tidak bersentuhan dengan yang bukan muhrim dan masih banyak lagi. Mungkin itulah alasannya mengapa saat aku memboncengmu, kau duduk dan menyimpan tas sebagai pembatas antara aku dan dirimu.

Aku tak sempat bertanya mengapa kau tiba-tiba berubah seperti itu. Aku hanya membayangkan saat – saat dulu kau menelponku untuk datang karena sedang begitu rindunya dirimu kepadaku. Aku masih ingat berapa bungkus tissue yang habis hanya dalam waktu beberapa hari saja. Ah, sudahlah. Kau mungkin akan marah jika aku mengingatkan saat – saat itu. Atau paling tidak, kau akan memintaku untuk bertaubat lagi.

Kita tiba dikosan seorang teman. Disana kau enggan untuk membuka jilbabmu. Meski hanya ada aku seorang diri yang berjenis kelamin berbeda dengan dirimu. Kau lalu bercerita batapa hebat Tuhan dalam menuntun prosesmu berubah menjadi lebih baik. Sungguh luarbiasa dengan dipertemukannya dirimu dengan orang-orang yang sudah lebih dulu berubah yang kau sebut dengan kata berhijrah. Kau juga tak ingin duduk dekat dengan diriku. Tak seperti biasanya, dahulu kau begitu senang menyandarkan kepalamu dipundakku.

Aku masih ingat saat aku mengatakan ini kepadamu, “maaf kali ini tumpah lagi, kau sendiri yang memintaku menumpahkannya diatas perutmu. Tunggu kuambilkan tissue, atau pake jilbabmu saja.” Aku masih ingat saat kita begitu rajin berciuman dalam sehari, kadang kita melakukannya pagi siang dan malam lebih rutin dan tepat waktu dari meminum obat yang diberikan oleh dokter. Masalalu ibarat musium sunyi yang tak pernah ingin aku kunjungi lagi tapi tetap saja selalu menggelayut diingatanku. Waktu terus berjalan. Aku masih menulis puisi perihal dirimu. Tentang bibirmu yang tak pernah aku lupa bagaimana rasanya saat menyelinap begitu saja kebibirku yang selalu kau sebut kering. Tapi tetap saja, puisi itu akhirnya akan menjadi sampah sebab tulisan tak cukup membawa kita kembali menikmati masa-masa itu.

Kau menjelma menjadi seorang perempuan yang begitu taat beribadah. Mengaji, sholat dan menutup aurat tentu saja. Meski kutahu itu baik karena itu membuatmu bisa lebih dekat dengan Tuhan. Tapi entah mengapa, aku tidak bisa menerimanya begitu saja. Bukan karena aku tak bisa memeluk dan mencium bibirmu seperti dulu lagi, karena itu rupanya masih bisa kudapatkan jika saja aku berniat untuk sedikit memaksa dan tepat waktu tentu saja seperti malam itu saat kau singgah dikota ini. Meski setelah itu kau akhirnya menangis karena katanya aku telah merusak segala usahamu untuk menjadi lebih baik. Lalu kau memutuskan untuk tidak lagi menjalin hubungan apa-apa denganku. Aku bukanlah lelaki yang baik dan bisa berubah dan bertaubat sebagaimana yang kau inginkan.

Waktu berjalan, kudengar perubahanmu begitu luar biasa. Aku sudah berani menghubungimu kembali. Barangkali bisa merajut kembali benang-benang kasih yang pernah putus. Sebab kenangan tentang dirimu masih begitu lekat dibenakku. Memelukmu erat, mencium bibirmu yang selalu merah itu bukanlah perkara sederhana yang mudah aku lupakan. Telah berhalaman-halaman puisi ku tulis. Tapi tak juga bisa menggantikan nikmatinya memeluk dirimu.

Tapi Ada hal yang membuatku tak bisa menerima dan sekaligus merasa kecewa dengan dirimu. Aku tak lagi menemukanmu menjadi orang yang peduli dengan orang-orang kecil. Kadang-kadang juga kau menjadi orang yang merasa lebih baik daripada yang lain hanya karena akhir-akhir ini kau rajin beribadah. Entah mengapa aku tak bisa menerima hal itu. Aku lebih menyenangi kau yang dulu sebab selain rajin menciumku kau juga tak pernah alfa bersedekah kepada mereka yang membutuhkan. Kau tak segan memberikan uang lebih kepada orang tua yang menjaga motor kita diparkiran warung makan yang selalu kita kunjungi setelah seharian berpelukan. Dan yang paling menyenangkan bagiku, dahulu kau tak pernah merasa lebih baik daripada orang lain hanya karena dirimu rajin bersedekah. Beda halnya dengan saat ini, dengan kain yang menutupi sekujur tubuhmu, juga ayat-ayat suci yang setiap selesai sholat kau lantunkan justru membuatmu jauh dari hal-hal baik dahulu. Rasa-rasanya saat ini, aku kadang-kadang menemukanmu menjadi seperti manusia yang tak pernah punya dosa. Berani mengatakan bahwa dirimu yang lebih baik daripada orang lain.

Akhirnya aku mengumpulkan segala kenangan itu, termasuk permintaanmu agar aku bertaubat sebagai doa-doaku. Barangkali dengan begitu aku bisa mengenangmu dengan baik tanpa harus memikirkan proses hijrahmu sebagai sesuatu yang membuatmu jauh dariku dan jauh dari orang-orang miskin sepertiku.

 

Makassar, 2020



Penulis : AM.Muslihin, seorang remaja yang berwajah pas-pasan dan tidak pintar. menyukai kopi dan senja juga perempuan tentu saja. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SURAT

PERSPEKTIF

PERSPEKTIF