PERSPEKTIF
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Kopi, Pemuda dan Cerita yang Tak Butuh Judul
Oleh : AM.Muslihin
Setiap kali Oktober tiba sejak 92 Tahun yang lalu, cerita – cerita perihal
Pemuda begitu ramai berseliweran di jagad maya. Sebabnya adalah bulan Oktober
ini merupakan bulan lahirnya ikrar para pemuda dan pemudi pada tahun 1928
silam. Bulan ini tentu saja menjadi bulan yang akan mendapatkan banyak ucapan
selamat. Dari berbagai organisasi hingga perseorangan, semua memberi dan juga
merayakan momen yang dianggap bersejarah ini. Menjadi hal wajib bagi Pemuda
tentu saja apalagi yang memang hanya ingin sekedar menguload di feed Ignya atau
di beranda Facebooknya yang kadang – kadang merasa lebih pemuda dari pada
pemuda – pemuda yang lainnya.
Perayaan-perayaan pada momen seperti ini tentu saja menjadi sesuatu yang
harus dilakukan sebagai wujud penghargaan kita terhadap hal – hal bersejarah
bagi bangsa ini. Bukankah kenangan memang bukan untuk dilupakan tetapi untuk
dirawat dan dihargai sebagai pelajaran. Tapi barangkali perayaan-perayaan ini
bukan dilakukan dalam hal seremonial saja, akan tetapi lebih kepada proses
refleksi dan perenungan perihal nilai-nilai dan makna yang tersirat dibalik
lahirnya Ikrar pemuda yang kita kenal sebagai Sumpah Pemuda ini. 92 tahun sudah
Ikrar ini menjadi sesuatu yang sakral dikalangan pemuda. Pada mimbar-mimbar
organisasi kepemudaan, ikrar ini begitu lantang di ucapkan. Kadang-kadang juga
di jalanan ketika demostrasi, Sumpah Pemuda dan Sumpah Mahasiswa begitu lantang
diteriakkan oleh sang orator. Kecintaan pemuda memang tak bisa diragukan lagi
jika kita sekilas melihat perayaan-perayaan yang dilakukannya.
Tahun ini adalah tahun yang berat bagi bangsa ini dan juga penjuru dunia
barangkali. Pandemi yang datang tanpa permisi seketika menjerat segala penjuru
negeri ini. Hari-hari menjadi begitu berat. Aktivitas-aktivitas banyak berubah
dan menjadi terbatasi. Perayaan Sumpah Pemuda juga barangkali akan berubah.
Tapi kembali lagi, bahwa yang lebih penting dari perayaan ini adalah
refleksi dan perenungan. Sebagai pemuda, saya memilih untuk duduk di sebuah
warung kopi yang tak jauh dari tempat saya menyewa kamar kos. Dengan beberapa
teman, saya memutuskan untuk menikmati kopi disana sembari berdiskusi hal – hal
sederhana. Tentu saja juga akan bercerita perihal Hari Sumpah Pemuda yang
tinggal beberapa jam lagi akan tiba. Sebelum saya berangkat ke warkop, saya
sempat membuka Instagram dan Facebook. Rupanya disana sudah berseliweran ucapan
Selamat Hari Sumpah Pemuda. Entah mungkin besok saya juga akan melakukannya.
Akan tetapi sebelum tiba kehari itu, saya memilih untuk menghabis segelas kopi
di warung kopi. Kami berenam, disebuah warung kopi memilih untuk duduk dan
bersantai. Obrolan kami begitu sederhana dan kami membahas perihal Pemuda tentu
saja karena kami masih muda – muda semua (hehe).
Seberes memesan kopi, kami mulai obrolan sederhana. Tak ada pilihan judul
atau topik yang spesifik. Tapi kami memulainya dengan pembahasan puisi,
sebabnya salah satu diantara kami ada yang akan menjadi peserta di Peksiminas
tahun ini. Ia bertanya perihal Puisi yang mana yang akan ia bacakan nanti.
Salah seorang teman yang juga pernah menjadi peserta Peksiminas memberi saran
agar pemilihan Puisinya itu berdasar pada Puisi mana yang bisa kita pahami
isinya. Sebab dengan begitu, maka membacanya juga pasti lebih bisa dihayati dan
dinikmati. Dari situlah kemudian obrolan kami terus beranak. Dari diskusi
perihal puisi Sapardi Djoko Damono sampai pada pembahasan tentang buku Aku
Lupa Bahwa Aku Perempun, Perempuan di Titik Nol dan Tuhan Izinkan Aku Jadi
Pelacur. Entahlah, saya juga tak
begitu paham mengapa obrolan kami bisa sampai pada ke 3 buku itu. Meski kami
hanya membahas kulit luarnya saja. Tapi ini tentu saja menjadi hal berharga
yang kelak akan dirindukan sebagai sesuatu yang tak akan pernah terulang
kembali.
Sampai disini bagaimana ? Apakah teman – teman sudah menemukan judul yang
pas untuk cerita kami ? Baiklah saya melanjutkan.
Waktu terus berputar, malam semakin larut. Juga kopi kami pelan-pelan sudah
mulai berkurang. Obrolan-obrolan kami terus berlanjut. Sampai pada cerita
perihal perayaan Sumpah Pemuda yang akan digelar esok hari (Hari ini, saat
tulisan ini dibagikan). Tentu ada pertanyaan dikepala kami sebagai pemuda hari
ini. Sudah sedalam apakah kita memaknai Ikrar yang sakral itu ? atau
jangan-jangan kita ini termasuk kedalam golongan pemuda-pemuda yang hanya ikut
meramaikan dimedia sosial tapi tidak pernah mencoba membuka ruang perenungan
perihal bagaimana seharusnya menjadi Pemuda Bangsa ini. Malam ini barangkali
setidaknya harus kita renungi bersama bahwa selain meramaikan media sosial
tentu saja sebagai pemuda kita harus terus menambah kapasitas diri sebagai
regenerasi bangsa ini. Diskusi – diskusi sederhana seperti yang kita lakukan
saat ini barangkali dianggap sia-sia oleh mereka yang lebih memilih menikmati
empuknya kasur dikamar kosnya. Tapi kita memilih untuk menghabiskan kopi
seharga 10ribu sambil berdikusi hingga larut malam. Meski mungkin diskusi –
diskusinya sangat sederhana.
Saya tak bisa menulis banyak malam ini. Kopiku sudah habis. Dan saya tahu
betul bahwa tulisan saya ini tidak banyak mengandung faedah. Tapi barangkali
setelah membaca tulisan ini, teman-teman berkenan untuk menawarkan segelas kopi
dan sepucuk puisi atau mungkin sebuah diskusi sederhana.
Pemuda hari ini adalah cerminan masa depan Bangsa
ini. 92 Tahun sudah ikrar satu tumpah darah, satu bangsa dan satu bahasa terus
digelorakan. Semoga perayaan-perayaan yang dilakukannya tidak hanya sekededar
seremonial belaka. Sebab 92 Tahun bukan sekedar angka. Tapi tentang Nilai dan
Makna.
92 Tahun sudah bukan usia Mudah
Tapi ini bukan perihal Angka
Namun ini tentang Nilai dan Makna
Selamat Hari Sumpah Pemuda
Wassalam
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar