PERSPEKTIF

Gambar
  WORD FALLACY #1 (Universitas Anta Brantah)   Oleh : AM.Muslihin (Penulis Receh dari negeri Anta Brantah)   Zaman memang sudah tua. Waktu terus bergulir, membawa umat manusia dari situasi yang satu ke situasi yang lain. Berbagai dinamika terus saja berentetan bag roda yang tak pernah berhenti berputar. Ada yang baik pula ada juga yang kurang menyenangkan. Itulah hukum semesta. Hari ini, umat manusia tengah diperhadapkan pada kemajuan yang begitu pesat diberbagai lini kehidupan. Hampir semua sektor mengalami perkembangan. Kemajuan tekhnologi ibarat kilat yang menyambar, sangat cepat. Bertatap muka tanpa bertemu, memesan makanan tanpa meninggalkan tempat tidur dan masih banyak lagi hal menakjubkan lainnya di era ini. Akan tetapi disaat yang sama sepertinya umat manusia perlu melihat kembali bahwa dunia hari barangkali sedang menghadapi satu fase yang begitu sulit. Pandemi yang melanda tak juga surut, bahkan malah terus bertambah dibuktikan dengan munculnya berb...

PERSPEKTIF

 

Kopi, Pemuda dan Cerita yang Tak Butuh Judul

Oleh : AM.Muslihin

 


Setiap kali Oktober tiba sejak 92 Tahun yang lalu, cerita – cerita perihal Pemuda begitu ramai berseliweran di jagad maya. Sebabnya adalah bulan Oktober ini merupakan bulan lahirnya ikrar para pemuda dan pemudi pada tahun 1928 silam. Bulan ini tentu saja menjadi bulan yang akan mendapatkan banyak ucapan selamat. Dari berbagai organisasi hingga perseorangan, semua memberi dan juga merayakan momen yang dianggap bersejarah ini. Menjadi hal wajib bagi Pemuda tentu saja apalagi yang memang hanya ingin sekedar menguload di feed Ignya atau di beranda Facebooknya yang kadang – kadang merasa lebih pemuda dari pada pemuda – pemuda yang lainnya.

Perayaan-perayaan pada momen seperti ini tentu saja menjadi sesuatu yang harus dilakukan sebagai wujud penghargaan kita terhadap hal – hal bersejarah bagi bangsa ini. Bukankah kenangan memang bukan untuk dilupakan tetapi untuk dirawat dan dihargai sebagai pelajaran. Tapi barangkali perayaan-perayaan ini bukan dilakukan dalam hal seremonial saja, akan tetapi lebih kepada proses refleksi dan perenungan perihal nilai-nilai dan makna yang tersirat dibalik lahirnya Ikrar pemuda yang kita kenal sebagai Sumpah Pemuda ini. 92 tahun sudah Ikrar ini menjadi sesuatu yang sakral dikalangan pemuda. Pada mimbar-mimbar organisasi kepemudaan, ikrar ini begitu lantang di ucapkan. Kadang-kadang juga di jalanan ketika demostrasi, Sumpah Pemuda dan Sumpah Mahasiswa begitu lantang diteriakkan oleh sang orator. Kecintaan pemuda memang tak bisa diragukan lagi jika kita sekilas melihat perayaan-perayaan yang dilakukannya.

Tahun ini adalah tahun yang berat bagi bangsa ini dan juga penjuru dunia barangkali. Pandemi yang datang tanpa permisi seketika menjerat segala penjuru negeri ini. Hari-hari menjadi begitu berat. Aktivitas-aktivitas banyak berubah dan menjadi terbatasi. Perayaan Sumpah Pemuda juga barangkali akan berubah.

Tapi kembali lagi, bahwa yang lebih penting dari perayaan ini adalah refleksi dan perenungan. Sebagai pemuda, saya memilih untuk duduk di sebuah warung kopi yang tak jauh dari tempat saya menyewa kamar kos. Dengan beberapa teman, saya memutuskan untuk menikmati kopi disana sembari berdiskusi hal – hal sederhana. Tentu saja juga akan bercerita perihal Hari Sumpah Pemuda yang tinggal beberapa jam lagi akan tiba. Sebelum saya berangkat ke warkop, saya sempat membuka Instagram dan Facebook. Rupanya disana sudah berseliweran ucapan Selamat Hari Sumpah Pemuda. Entah mungkin besok saya juga akan melakukannya. Akan tetapi sebelum tiba kehari itu, saya memilih untuk menghabis segelas kopi di warung kopi. Kami berenam, disebuah warung kopi memilih untuk duduk dan bersantai. Obrolan kami begitu sederhana dan kami membahas perihal Pemuda tentu saja karena kami masih muda – muda semua (hehe).

Seberes memesan kopi, kami mulai obrolan sederhana. Tak ada pilihan judul atau topik yang spesifik. Tapi kami memulainya dengan pembahasan puisi, sebabnya salah satu diantara kami ada yang akan menjadi peserta di Peksiminas tahun ini. Ia bertanya perihal Puisi yang mana yang akan ia bacakan nanti. Salah seorang teman yang juga pernah menjadi peserta Peksiminas memberi saran agar pemilihan Puisinya itu berdasar pada Puisi mana yang bisa kita pahami isinya. Sebab dengan begitu, maka membacanya juga pasti lebih bisa dihayati dan dinikmati. Dari situlah kemudian obrolan kami terus beranak. Dari diskusi perihal puisi Sapardi Djoko Damono sampai pada pembahasan tentang buku Aku Lupa Bahwa Aku Perempun, Perempuan di Titik Nol dan Tuhan Izinkan Aku Jadi Pelacur.  Entahlah, saya juga tak begitu paham mengapa obrolan kami bisa sampai pada ke 3 buku itu. Meski kami hanya membahas kulit luarnya saja. Tapi ini tentu saja menjadi hal berharga yang kelak akan dirindukan sebagai sesuatu yang tak akan pernah terulang kembali.  

Sampai disini bagaimana ? Apakah teman – teman sudah menemukan judul yang pas untuk cerita kami ? Baiklah saya melanjutkan.

Waktu terus berputar, malam semakin larut. Juga kopi kami pelan-pelan sudah mulai berkurang. Obrolan-obrolan kami terus berlanjut. Sampai pada cerita perihal perayaan Sumpah Pemuda yang akan digelar esok hari (Hari ini, saat tulisan ini dibagikan). Tentu ada pertanyaan dikepala kami sebagai pemuda hari ini. Sudah sedalam apakah kita memaknai Ikrar yang sakral itu ? atau jangan-jangan kita ini termasuk kedalam golongan pemuda-pemuda yang hanya ikut meramaikan dimedia sosial tapi tidak pernah mencoba membuka ruang perenungan perihal bagaimana seharusnya menjadi Pemuda Bangsa ini. Malam ini barangkali setidaknya harus kita renungi bersama bahwa selain meramaikan media sosial tentu saja sebagai pemuda kita harus terus menambah kapasitas diri sebagai regenerasi bangsa ini. Diskusi – diskusi sederhana seperti yang kita lakukan saat ini barangkali dianggap sia-sia oleh mereka yang lebih memilih menikmati empuknya kasur dikamar kosnya. Tapi kita memilih untuk menghabiskan kopi seharga 10ribu sambil berdikusi hingga larut malam. Meski mungkin diskusi – diskusinya sangat sederhana.

Saya tak bisa menulis banyak malam ini. Kopiku sudah habis. Dan saya tahu betul bahwa tulisan saya ini tidak banyak mengandung faedah. Tapi barangkali setelah membaca tulisan ini, teman-teman berkenan untuk menawarkan segelas kopi dan sepucuk puisi atau mungkin sebuah diskusi sederhana.

Pemuda hari ini adalah cerminan masa depan Bangsa ini. 92 Tahun sudah ikrar satu tumpah darah, satu bangsa dan satu bahasa terus digelorakan. Semoga perayaan-perayaan yang dilakukannya tidak hanya sekededar seremonial belaka. Sebab 92 Tahun bukan sekedar angka. Tapi tentang Nilai dan Makna.

 

92 Tahun sudah bukan usia Mudah

Tapi ini bukan perihal Angka

Namun ini tentang Nilai dan Makna

Selamat Hari Sumpah Pemuda

 

Wassalam

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SURAT

PERSPEKTIF